Meningkatnya tren bisnis thrifting belakangan ini menjadi salah satu peluang bisnis yang ternyata cukup menggoda. Dicatatkan dalam databoks.katadata.co.id, bahwa nilai impor baju bekas pada kuartal ketiga 2022 meroket sebanyak 607,6% dari tahun 2021 lalu. Nilai yang besar ‘kan?
Dengan potensi dan nilai yang sangat besar ini, kamu juga harus sadar bahwa tidak sedikit anggapan yang mengatakan bahwa bisnis tersebut justru bisa mengancam industri tekstil nasional. Terdapat regulasi yang ketat untuk impor pakaian bekas, yang juga wajib dipahami oleh pebisnis yang ingin terjun ke bisnis tersebut.
Baca juga: 5 Ide Bisnis Online Kekinian dan Tips Mengelolanya
Peluang Bisnis yang Memang Menggoda
Bisnis thrifting sendiri adalah sebuah bisnis yang bergerak di bidang pakaian, dengan membeli pakaian bekas dalam bentuk bal atau karung yang sudah dikemas, kemudian dipilah sesuai kategori tertentu, dibersihkan, kemudian dijual kembali dengan harga tertentu.
Yang menjadi menarik pada thrifting kekinian adalah hadirnya berbagai barang bekas yang memiliki kualitas masih bagus, dengan brand yang terkemuka. Ini artinya, pasar bisa mendapatkan barang branded dengan harga yang terjangkau, meski memang kondisinya bekas atau usianya sudah cukup tua.
Thrifting sendiri sebenarnya sudah ada sejak lama, dengan penjualan pakaian bekas di toko atau di area-area tertentu. Tapi dengan optimasi di media sosial, bisnis ini memiliki nilai yang lebih tinggi dari sekedar ‘barang bekas’.
Lalu mengapa peluangnya dikatakan menggoda?
1. Tren yang Dianggap Positif
Adanya bisnis jual-beli pakaian bekas ini dianggap sebagai tren yang positif, karena membuat pasar tidak terus menerus menggunakan produk baru yang diproduksi. Efek lingkungan atas industri fashion yang cepat cukup disadari, itu kenapa pasar untuk barang thrift cukup besar dan potensial.
2. Bisnis ‘Kekinian’
Meski terasa sebagai bentuk bisnis baru, namun sebenarnya yang baru dari bisnis ini adalah metode pemasarannya. Dahulu konsep pakaian bekas yang dijual sudah ada dan dikenal pada segmen pasar tertentu saja.
Namun dengan kehadiran media sosial dan tren pakaian branded yang terus berkembang, thrift modern memiliki pangsa pasar kekinian yang tidak kalah menjanjikan. Didukung teknologi yang lebih canggih dan metode pembayaran yang mudah di berbagai platform, bisnis modern ini semakin diminati.
3. Kamu Menyediakan Produk Dasar
Yang sifatnya adalah kebutuhan, dan bukan sekedar sebagai produk yang mengikuti tren saja. Cukup banyak segmen pasar yang mengandalkan thrift shop untuk memenuhi kebutuhan berpakaian, sekaligus bergaya yang mereka miliki.
Jelas, saat kamu menjual produk yang sifatnya kebutuhan dasar, pasar yang dimiliki akan besar dan luas.
4. Modalnya Tidak Besar
Sepotong pakaian di thrift shop dihargai sekitar Rp25.000 sampai dengan Rp150.000 atau lebih. Harga ini terbilang cukup terjangkau untuk pasar, tapi menguntungkan bagi pelaku bisnis thrifting.
Kenapa?
Dari sisi pasar, harga yang diberikan sangat terjangkau jika dibandingkan dengan harga produk baru yang mungkin saja berkali-kali lipat. Dengan kualitas yang sedikit berkurang namun keaslian yang bisa dijamin penjual, tentu ini sangat menarik.
Dari sisi pebisnis, kamu dalam hal ini, harga ini juga menguntungkan. Satu karung pakaian bekas kini berkisar antara Rp1.000.000-an, dan bisa mendapat antara 50 sampai dengan 100 potong pakaian. Dengan segala kondisi dan brand dari pakaian yang ada di dalamnya, penjual masih bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan.
5. Kamu Bisa Memakai Banyak Platform
Mulai dari live Instagram, live TikTok, hingga menggunakan unggahan konvensional di media sosial, semua bisa menjadi kanal penjualan yang kamu usahakan untuk bertemu dengan pasar yang kamu punya.
Semakin luas pasar yang bisa dijangkau, maka semakin besar juga potensi keuntungan dan penjualan yang didapat. Sekarang ini kamu bisa dengan mudah mendapati penjual thrift lalu-lalang di beranda atau FYP media sosial.
Tapi Bagaimana Soal Regulasinya?
Nah soal regulasi hukum ini yang wajib menjadi perhatian, selain potensi yang ada di bisnis thrifting tersebut.
Pada Pasal 51 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dijelaskan bahwa importir dilarang mengimpor barang yang termasuk dalam barang dilarang impor. Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru, kecuali ditentukan lain oleh Pemerintah Pusat.
Dalam sebuah artikel di smartlegal.id, disampaikan pula regulasi lain, yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Barang Dilarang Impor, yang menetapkan enam jenis atau kategori barang dilarang impor. Antara lain:
- Bahan perusak lapisan ozon
- Kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas
- Barang yang berbasis sistem pendingin yang menggunakan Chlorofluorocarbon (CFC) dan Hydrochlorofluorocarbon 22 (HCHC-22)
- Bahan obat dan makanan tertentu
- Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
- Alat kesehatan yang mengandung merkuri
Artinya jelas di sana ada larangan yang menyebutkan secara eksplisit tentang impor pakaian bekas. Tapi bagaimana jika bisnis thrifting ini dimulai dengan membeli barang bekas dari pemilik bal atau karung? Apakah masih termasuk dalam pelanggaran hukum?
Baca juga: Ada 9 Manfaat QRIS dalam Transaksi Jual-Beli, Penasaran?
Lepas dari masalah yang mungkin muncul di kemudian hari, bisnis thrifting sebenarnya menjadi bisnis yang cukup menjanjikan untuk ditelisik lebih jauh. Yang pasti, kamu harus bisa menyediakan metode pembayaran yang praktis untuk pelanggan dan catatan yang solid atas penjualan, sehingga bisnis apapun yang kamu buat bisa benar-benar optimal dari segi penjualan. Adalah iSeller, yang menyediakan produk POS handal untuk bisnis dan mampu mengintegrasikan banyak platform penjualan dalam sistem pembayaran yang rapi. Segera coba GRATIS sekarang, dan maksimalkan fiturnya!